Dalam franchising, ada beberapa biaya yang dipungut oleh Franchisor kepada Franchisee. Biaya tersebut antara lain: Franchise Fee dan Royalty Fee. Kadang-kadang ada biaya lain yang dipungut, yaitu biaya pemasaran bersama dan biaya pelatihan (pelatihan lanjutan). Mengenai kedua biaya yang terakhir ini, umumnya Franchisor tidak memungut keuntungan. Seluruh biaya tersebut benar-benar dipakai kembali untuk pemasaran dan pelatihan bagi para Franchisee-nya.
Mengenai Franchise Fee, sebenarnya biaya ini sebagian dikembalikan untuk kepentingan Franchisee. Seperti pengganti biaya survey lokasi Franchisee, biaya initial training, duplikasi dokumen kerja untuk Franchisee, pendampingan pembukaan gerai, modal kerja Franchisor selama belum menerima Royalty Fee, dan lain-lain. Walaupun demikian, di Indonesia, Franchise Fee dikenakan PPN sebesar 10% (dan Royalty Fee dikenakan Pph final sebesar 15%).
Apa itu Franchise Fee sebenarnya? Franchise Fee dalam industri franchising dikenal sebagai “willingness” (dan upah) Franchisor karena mau berbagi (dan mengajarkan) bisnis miliknya (ilmu dan pengalaman) dengan pihak lain (dalam hal ini Franchisee). Apakah Franchisor wajib mengenakan Franchise Fee kepada Franchisee? Jawabannya bergantung dari Franchisor. Bila dikenakan, maka akan meringankan Franchisor atas biaya rekrutmen Franchisee. Sebaliknya, bila tidak dikenakan akan memberi beban tambahan bagi Franchisor. Bila Franchisor mau dan atau sanggup menanggung beban ini, maka Franchisor dapat saja membebaskan Franchisee dari Franchise Fee. Kenapa demikian? Karena Franchise Fee bukanlah “income” dari Franchisor. Jadi apa pendapatan utama dari Franchisor? Pendapatan utama Franchisor adalah dari Royalty Fee.
Sekarang, apa itu Royalty Fee? Royalty Fee adalah “Revenue” Franchisor yang dipungut atas dasar penggunaan Kekayaan Intelektual milik Franchisor (Brand dan sistem). Umumnya, Royalty Fee dipungut secara bulanan dan berdasarkan nilai Gross Sales dari bisnis Franchisee. Itu sebabnya Royalty Fee adalah pendapatan utama Franchisor. Franchise Fee hanya dipungut sekali selama masa kontrak, sedangkan Royalty Fee akan dipungut setiap bulan selama masa kontrak. Bila kontrak franchise adalah 5 tahun, maka Franchisor akan menerima 1 kali Franchise Fee (diawal) dan 60 kali Royalty Fee (setiap bulan, pada bulan selanjutnya).
Mengenai dasar pengenaan, kenapa dari Gross Sales Franchisee? Karena nilai ini paling mudah dibuktikan. Bila diambil dari Gros Profit atau Net Profit, maka diperlukan pembuktian yang lebih dalam (audit keuangan) yang akan menyita waktu. Akibatnya penerimaan Royalty Fee akan bertambah lama tempo pemungutannya. Audit keuangan membutuhkan pembuktian dan hasilnya harus disetujui bersama. Bila hasil audit Franchisor ditolak oleh Franchisee, akan bertambah lama lagi waktu pemungutannya.
Bila Franchisee tidak mau membayar atau menunda pembayaran Royalty Fee, maka selayaknya Franchisee tidak memakai (atau menunda) pemakaian Kekayaan Intelektual milik Franchisor. Sering terjadi kasus di mana Franchisee minta penundaan pembayaran Royalty Fee karena merasa masih merugi. Tentunya hal tersebut tidak relevan. Royalty Fee berkaitan dengan Kekayaan Intelektual, bukan dengan Laba-Rugi. Lagi pula, Royalty Fee adalah “Revenue” Franchisor. Bila ditunda atau tidak dibayar, maka Franchisor akan kesulitan. Oleh sebab itu dalam perjanjian franchise, biasanya Franchisor sangat tegas terhadap masalah yang menyangkut Royalty Fee ini. Biasanya selalu menuju kepada pemutusan hubungan kerjasama.
Jadi bila ada Franchisor yang menyatakan kepada Franchisee-nya bahwa bisnis franchise-nya bebas Royalty Fee, maka umumnya ada hal lain yang Franchisor “mark up” sebagai gantinya penghasilan Franchisor. Ini bukanlah sistem kerja franchise yang benar. Franchisor yang benar, tidak akan memperdaya dan atau memberatkan Franchisee-nya. Yang terpenting, Franchisor harus transparan, karena franchising sarat akan hal “Relationship”.
Bagaimana cara menetapkan besaran dari Franchise Fee dan Royalty Fee? Caranya sederhana, yaitu dihitung. Konsepnya adalah Franchisor tidak akan memberatkan Franchisee. Untuk itu, hasil dari perhitungannya harus: Pertama, profit dari bisnis yang akan dijalankan oleh Franchisee harus tetap menarik, sesuai/ berada dalam “range” standar industri bisnis tersebut. Kedua, lama pengembalian modal harus tetap menarik, sesuai/ berada dalam “range” standar industri bisnis tersebut. Ketiga, Franchisor harus untung. Berdasarkan ketiga syarat inilah Franchisor menghitung berapa seharusnya nilai dari Franchise Fee dan Royalty Fee. Franchisor harus untung dan Franchisee juga harus untung. Franchise sebenarnya bermakna “mandiri”, tapi itulah sebabnya franchising diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi Waralaba, yaitu bulak-balik untung atau sama-sama untung.
Bila dipikirkan secara sederhana, bagaimana mungkin Franchisee akan bisa memiliki profit yang menarik setelah mendapat tambahan Franchise Fee dan Royalty Fee? Jawabannya adalah “Leveraged” (diungkit/ dibuat menjadi lebih efisien/ ditingkatkan kemampuan pencapaian profit-nya dengan menurunkan biaya yang lain). Bisnis yang akan dijalankan oleh Franchisee harus di “Leveraged” dahulu oleh Franchisor.
Bagaimana mungkin Franchisor bisa me-leveraged bisnis yang akan dijalankan oleh Franchisee, sedangkan bisnis yang dijalankan oleh Franchisor (owned outlet) sejak dahulu tidak pernah menjadi lebih efisien? Sangat mungkin bila Franchisor bisa merubah pola berpikirnya dengan pola berpikir “networking”. Franchising adalah bisnis networking. Atau dengan istilah sekarang yang sedang populer yaitu “economic sharing”. Contoh kasus, pemilik bisnis (yang telah memiliki banyak “owned outlet“) sebelum menjadi Franchisor, sudah dapat merasakan benefit dari “sharing” ini. Salah satu contoh, karena cabang (dan atau Franchisee) adalah “captive market”, dalam melakukan distribusi produk dapat menunjuk pihak ketiga untuk berinvestasi dimasalah distribusi.
Akibatnya, pemilik bisnis tidak perlu berinvestasi sendiri. Hal lain dalam “leveraged”, bila 1 bisnis unit membutuhkan 1 manajer, maka 10 bisnis unit belum tentu memerlukan 10 manajer. Mungkin hanya memerlukan 3 manajer dengan “harga” 6 manajer (kapasitas dan kemampuan manajer yang lebih tinggi, yang imbalan gajinya tentu lebih tinggi juga). Daya beli Franchisor akan bahan baku yang besar dapat menurunkan harga pokok penjualan, sehingga menguntungkan bagi Franchisee yang umumnya hanya memiliki single outlet. Demikian juga kontrol terhadap operasi bisnis. Franchisor bisa mengurangi kapasitas dari SDM Franchisee. (yang berakibat kepada biaya personel dan operasi) dengan cara membantu memonitor bisnis Franchisee.
Oleh sebab itu juga, bila Franchisor menerapkannya secara benar, maka Franchisor tidak perlu takut bisnisnya “dibajak” oleh Franchisee yang berniat tidak baik. Franchisee yang berniat tidak baik tersebut tidak akan mampu menyamai kapasitas dari Franchisor. Itu juga sebabnya sebuah bisnis bila hendak dipasarkan secara franchising (disarankan bagi Franchisor pemula) membutuhkan organisasi baru dan investasi segar (modal). Tidak sekedar hanya sebuah divisi baru dengan seorang/ beberapa staf lama saja. Untuk itu, tentunya Franchise Fee yang dipungut akan sangat membantu Franchisor pemula tersebut.
Kenapa Franchisor pemula sering mengalami kegagalan dalam memasarkan usahanya melalui sistem franchise? Karena tidak adanya perubahan pola berpikir serta penerapan konsep bahwa Franchisee harus untung. Inilah salah satu konsep economic sharing/ networking. Dalam kacamata pengamat franchise, masalah ini disebut sebagai “Paradigm Shift” (Pergeseran Paradigma). Franchisor harus merubah paradigma bisnisnya. Bila sebelum menjadi Franchisor “mind set”-nya adalah semua “opportunity” untuk saya, maka setelah menjadi Franchisor harus menerapkan semua “opportunity” untuk Franchisee. Dengan demikian, debut sukses sebagai Franchisor akan lebih mudah dicapai.
Kedengarannya aneh, tapi kenyataannya melalui sistem franchise (yang benar), pemilik bisnis awal akan lebih beruntung dibandingkan melipat gandakan jumlah owned outlet-nya, baik secara nilai uang maupun “market share”. Lantas bagaimana cara menggeser paradigma lama tersebut? Caranya adalah dengan mau belajar kembali dan menerapkan hal-hal mengenai ketentuan franchising dan atau mau menerima dan menerapkan saran dari yang sudah ahli. Saran bisa didapat dari Franchisor yang sudah sukses atau dari konsultan franchise yang dapat diandalkan.
Semoga bisa berubah.